SURJO & PARTNERS – Dalam konteks suatu putusan pengadilan, cacat hukum dikenal dengan istilah cacat formil. Cacat formil sehubungan dengan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke.
Secara sederhana, cacat hukum artinya suatu perjanjian, kebijakan, atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat secara hukum.
Cacat hukum disebabkan karena tidak sesuai dengan hukum sehingga tidak mengikat secara hukum. Cacat hukum tidak hanya dimaksudkan untuk suatu perjanjian, namun juga ditunjuk untuk keamanan suatu produk.
Dalam konteks suatu putusan pengadilan, cacat hukum dikenal dengan istilah cacat formil. Cacat formil sehubungan dengan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke.
Putusan niet ontvankelijke merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Di dalam buku Hukum Acara Perdata oleh M. Yahya, dijelaskan bentuk cacat formil, yaitu:
1. Gugatan yang ditandatangi kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui atau herziene inlandsch reglement.
2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum.
3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium.
4. Gugatan mengandung cacat obscuur atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya.
Akibat lain dari gugatan cacat hukum adalah:
Pertama, Gugatan penggugat tidak jelas/kabur
Hubungan antara gugatan dengan gugatan yang Obscuur Libel itu sendiri terletak dari ketidaksesuaian isi fakta hukum yang terjadi dengan tuntutan, sebab apabila seseorang membuat gugatan yang tidak memenuhi syarat, maka akibatnya adalah gugatan itu disebut sebagai gugatan yang tidak jelas sehingga menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.
Kedua, Posita tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil gugatan yang demikian tidak memenuhi asal jelas dan tegas sesuai yang diatur dalam Pasal 8.
Ketiga, Tidak jelas objek yang disengketakan
Termasuk di dalamnya tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran, dan luasnya, dan atau tidak ditemukan objek sengketa. Hal ini diperkuat dengan Putusan MA No.1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan “karena kuat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”.
Keempat, Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang berdiri sendiri
Untuk menghemat segala sesuatu, terkadang penggugat dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap sebagai pihak tergugat.
Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama lainnya.
Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk, maka penggabungan bertentangan dengan tertib beracara.
Cacat hukum disebabkan karena tidak sesuai dengan hukum sehingga tidak mengikat secara hukum. Cacat hukum tidak hanya dimaksudkan untuk suatu perjanjian, namun juga ditunjuk untuk keamanan suatu produk.
Selama suatu produk baik, maka produk materiil maupun produk immaterial harus lengkap dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak-pihak yang terkait. Suatu kontrak dinyatakan cacat hukum tersebut bisa diartikan pada keamanan produk.
Selain cacat formil, sebuah kontrak bisa dikatakan cacat kehendak. Cacat kehendak terjadi jika ada kebebasan dalam pembuatan kontrak tersebut. Cacat kehendak dapat menyebabkan ketidakadilan untuk salah satu atau beberapa pihak di dalamnya.
Cacat kehendak dapat terjadi apabila seseorang sudah melakukan tindakan hukum, namun kehendak tersebut tidak sempurna. Kehendak yang tidak sempurna tersebut berupa:
1. Ancaman atau paksaan.
2. Kekeliruan.
3. Penyalahgunaan keadaan.
4. Penipuan.
Saat sebuah kontrak mengandung beberapa hal ketidaksempurnaan tersebut, maka hal itu dapat menjawab kapan suatu kontrak dinyatakan cacat hukum. Hal ini disebabkan karena isi kontrak atau pelaksanaan kontrak tidak memiliki kesesuaian hukum di dalamnya.
Cacat hukum dalam bahasa Inggris disebut dengan legal defect. Adapun, arti defect menurut Black’s Law Dictionary 9th Edition adalah:
An imperfection or shortcoming, esp. in a part that is essential to the operation or safety of a product.
Sementara itu, merujuk pada Cambridge Dictionary, salah satu arti defect adalah “something that is lacking or that is not exactly right in someone or something.”
Senada dengan Cambrigde, Oxford Dictionary mengartikan defect sebagai “a fault in something or in the way it has been made that means that it is not perfect”.
Jadi, cacat hukum dapat diartikan sebagai suatu ketidaksempurnaan atau ketidaklengkapan hukum, baik pada suatu peraturan, perjanjian, kebijakan, atau suatu hal lainnya. Hal ini disebabkan karena ketidaksesuaian dengan hukum, sehingga tidak mengikat secara hukum.
Cacat hukum dalam suatu contoh yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary, tidak hanya dimaksudkan untuk suatu perjanjian saja, tetapi bisa juga ditujukan untuk keamanan suatu produk.
Adapun, dalam konteks suatu putusan pengadilan, cacat hukum juga dikenal dengan istilah cacat formil. Cacat formil ini sehubungan dengan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Putusan niet ontvankelijke verklaard (“NO”) adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hal. 811):
1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;
2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel (dalil gugatan tidak punya dasar hukum, objek gugatan tidak jelas atau petitum gugatan bertentangan dengan dalil gugat) [1] atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya;
5. Gugatan masih prematur. [2]
Contoh Kasus Cacat Hukum
Contoh kasus cacat hukum dapat dilihat dalam Putusan PN Jakarta Utara No. 37/PDT.G/2016/PN.JKT.UTR. Dalam putusan tersebut, gugatan penggugat dinyatakan kabur (obscuur libel) sehingga gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) (hal. 26-35).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa jual beli tanah terjadi pada saat tanah berada dalam suatu sengketa di pengadilan. Sehingga, syarat objektif yaitu suatu sebab yang halal tidak terpenuhi. Sehingga, perjanjian jual beli penggugat dan tergugat I atas sebidang tanah adalah batal demi hukum (hal. 35).
Contoh lainnya dapat dilihat dalam Putusan MA No. 722 K/Pdt/2017 yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding yaitu menyatakan surat perjanjian jual beli kayu bulat antara penggugat dan tergugat adalah cacat hukum sehingga tidak berkekuatan hukum atau setidak-tidaknya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak saat diterbitkannya (hal. 9 – 11, 16).
Hal ini karena surat perjanjian mengandung unsur-unsur kecacatan hukum yaitu adanya unsur dwang, dwalling en bedrog (kekeliruan/kesesatan dan penipuan) dalam proses pembuatan dan penerbitannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata (hal. 15).
Dasar Hukum:
Herziene Inlandsch Reglement.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 37/PDT.G/2016/PN.JKT.UTR;
Putusan Mahkamah Agung Nomor 722 K/Pdt/2017.
Referensi:
1. Black’s Law Dictionary 9th Edition;
2. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2006;
3. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2019;
4. Cambridge Dictionary, defect, yang diakses pada Kamis, 12 September 2024, pukul 06.20 WIB;
5. Oxford Dictionary, defect, yang diakses pada Kamis, 12 September 2024, pukul 06.25 WIB;
6. Mengenal Cacat Hukum https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-cacat-hukum-lt62a329138bae7?page=all yang diakses pada Kamis, 12 September 2024, pukul 06.35 WIB;
7. Makna Cacat Hukum dan Contohnya https://www.hukumonline.com/klinik/a/makna-cacat-hukum-dan-contohnya-lt556fa8a2b1100/ yang diakses pada Kamis, 12 September 2024, pukul 06.45 WIB.
[1] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 798
[2] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 798