Address
Jl. Citandui No.52 B Purwantoro, Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur 65122 Indonesia

Surjo Partners: Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


SURJO & PARTNERS – Dalam sistem peradilan pidana, dihadapan para mahasiswa magang dari Universitas Brawijaya, Advokat Surjono S.H, M.H menyampaikan bahwa advokat berperan membantu tersangka dan terdakwa untuk memahami proses hukum yang dijalaninya, meliputi tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna-ajudikasi.

Selain itu, advokat juga ikut mengawasi dan membantu penyidik serta penuntut umum untuk menjalani proses menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan semua hak serta jaminan yang diberikan hukum pada tersangka dan terdakwa.

Advokat Surjono, S.H, M.H munuturkan, Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), advokat memiliki posisi penting dalam sistem peradilan pidana.

Salah satunya untuk menjaga keseimbangan antara besarnya peran penegak hukum seperti polisi dan jaksa dengan keadaan tersangka/terdakwa yang lemah.

Oleh karena itu, dibutuhkan advokat yang bebas, kendati dalam praktik penegakan hukum, para advokat kurang mendapatkan tempat pada perannya tersebut.

“Padahal untuk mencari kebenaran atas bersalah atau tidaknya seorang tersangka atau terdakwa haruslah dilakukan dengan ‘dueprocess’.” Hal ini yang disampaikan Advokat Surjono, S.H, M.H kepada para mahasiswa magang di Kantornya beberapa waktu lalu.

“Dalam konteks ini, sistem peradilan pidana juga harus mempertimbangkan kedudukan saksi guna mendapat pendampingan dari advokat berdasarkan pilihannya sendiri.” Ujarnya. Sabtu (22/03/2025).

Surjo Partners: Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Surjo Partners: Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Advokat Surjono, S.H, M.H menuturkan “Sistem peradilan Indonesia mendudukan advokat sebagai pengemban profesi luhur (officum nobile) yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum.”

“Namun dalam praktik, Advokat masih memiliki sejumlah hambatan, misalnya dalam hal mengakses bukti maupun berkas-berkas perkara yang menjadi kebutuhan mendasar untuk kepentingan pembelaan maupun upaya hukum.” Lanjut Advokat Surjono.

“Ketidakseimbangan dalam proses peradilan sebenarnya sudah terjadi sejak tahap penyidikan. Pasal 33 RUU KUHAP mengatur bahwa pada pemeriksaan Tersangka di tahap penyidikan, Advokat hanya dapat melihat dan mendengar saja, serta menyatakan keberatan jika pertanyaan penyidik bersifat mengintimidasi dan menjerat.” Ungkap Advokat Senior Kota Malang ini menuturkan.

“Tentu, peran Advokat yang lemah tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengumpulan konstruksi fakta yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).” Paparnya.

“Padahal, BAP pada praktiknya selalu digunakan sebagai dasar pemeriksaan, tak terkecuali pada pemeriksaan di persidangan, bahkan hingga tingkat upaya hukum.” Ungkap Advokat yang juga bergerak di bidang sosial dengan kegiatan penyediaan layanan ambulance gratis bagi masyarakat kurang mampu.

“Oleh karena itu, peran Advokat seharusnya bisa diperkuat salah satunya dengan memberikan kewenangan kepada Advokat untuk memberikan catatan/pandangan advokat terkait proses pemeriksaan kliennya, yang nantinya akan disatukan atau termuat dalam BAP dan berkas perkara.” Harapnya.

Kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, perlindungan terhadap saksi masih sangat minim. Hal yang sering dituntut pada saksi hanyalah kewajiban. Sehingga, kedudukan saksi dapat dikatakan rentan dihadapkan pada tindak pidana berupa membuat keterangan yang melawan dirinya sendiri.

Oleh karena itu, pendampingan hukum oleh advokat pada saksi sangat penting. Sebagai ilustrasi, mengenai wajibnya saksi didampingi oleh advokat pada negara-negara anglo-saxon, utamanya terhadap pada kesaksian yang diberikan justru memberatkan saksi sendiri, yang nanti dapat saja digunakan untuk mendakwa saksi tersebut.

Untuk menghindari hal-hal tersebut, sudah saatnya sistem peradilan pidana memberikan perlindungan yang memadai pada saksi maupun korban, mulai dari saksi korban perkosaan, pelecehan seksual hingga pada saksi yang membuka rahasia organisasi kejahatan.

Sistem peradilan pidana tidak lagi bertumpu pada pelaku kejahatan versus negara, tetapi setiap unit yang terlibat di dalamnya diberikan perlindungan yang sama.

Pasal 54 KUHAP terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memiliki alasan konstitusionalitas yang kuat. Maka Pasal 54 KUHAP konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa sejalan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’.

Dan terhadap posisi perlindungan bagi para pencari keadilan, khususnya untuk saksi dan korban dalam sistem hukum peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, seiring berjalannya waktu, KUHAP yang ada sejak 1981 telah jauh dari perhatian terhadap saksi dan/atau korban.

Oleh karena itu, KUHAP dimaknai telah offender oriented dan memiliki perhatian yang jauh dari saksi, korban, atau subjek terperiksa lainnya. Terlebih lagi, saat masyarakat Indonesia mulai menyadari betapa pentingnya access to justice bagi pihak-pihak selain tersangka/terdakwa.

Bahwa access to justice sesungguhnya menjadi hak yang harus dijamin pemenuhannya bukan hanya bagi tersangka/terdakwa tetapi juga bagi semua pihak yang berhadapan maupun berkonflik dengan hukum.

Oleh karena itu, para pencari keadilan bukan saja seseorang dalam kedudukannya sebagai tersangka/terdakwa, melainkan juga mereka yang menjadi korban atau saksi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Sebagai negara hukum, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Dengan demikian, Indonesia sebagai negara anggota di dalamnya telah terikat dengan berbagai kewajiban, di antaranya wajib untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia yang berada di wilayah yurisdiksinya, termasuk pula kewajiban untuk melakukan pemenuhan hak pada Pasal 14 ICCPR untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang layak.

Dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana ini, ia menilai bahwa access to justice tersebut harus dimulai dengan memberikan jaminan atas keseimbangan pelaksanaan pendampingan, perlindungan maupun pembelaan terhadap semua pihak yang membutuhkan melalui pembelaan oleh advokat maupun dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban oleh LPSK.

Dalam hal ini, maka access to justice dan fair treatment tersebut menjadi penting dalam hukum acara pidana dan menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum secara bersama untuk kemudahan-kemudahan pelaksanaannya.

Kinerja sistem peradilan dari hulu ke hilir yang dapat berjalan dengan baik ketika setiap subsistem yang berperan dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing, termasuk antara advokat dam LPSK.

Bahwa advokat dan LPSK dalam menjalankan fungsinya dapat terus mendampingi subjek pencari keadilan, baik tersangka/terdakwa, saksi maupun korban pada seluruh tahapan proses peradilan atau sepanjang proses peradilan pidana.

Artinya, kerja keduanya tidak dapat dibatasi. Dengan kata lain, seorang advokat dapat memberikan pendampingan dalam setiap tahapan pemeriksaan dan sejalan dengan fungsinya maka LPSK dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak saksi dan/atau korban sejak tahap penyelidikan.

Sehingga fungsi advokat dan LPSK dapat dilakukan sepanjang proses peradilan, karena karakter fungsi yang melekat secara subjektif pada situasi dan kondisi pihak yang didampinginya.

Sementara itu, fungsi advokat dalam memberikan nasihat dan pendampingan terhadap saksi tidak akan meniadakan fungsi LPSK, sebab fungsi yang dijalankan oleh advokat yakni fungsi pembelaan yang berbeda dengan fungsi LPSK yang melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana pada kasus-kasus yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Oleh karena itu, advokat dan LPSK dalam menjalankan fungsinya meski berpotensi saling bersinggungan namun sesungguhnya dapat saling men-support dan bersinergi.

Demikian ulasan mengenai Surjo Partners: Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.

Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.

Demikian Sobat uraian artikel kali ini tentang Surjo Partners: Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel Kantor Advokat/Konsultan Hukum SURJO & PARTNERS oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya). Semoga bermanfaat.

Apabila sobat perlu bantuan dan konsultasi hukum silahkan menghubungi Tim Advokat SURJO & PARTNERS. Melalui menu Janji Temu yang ada di website atau melalui Contact Person Advokat H. Surjono, S.H, M.H,. di nomor +6281333373322. [Eka]