SURJO & PARTNERS – Kasus Vina Cirebon yang diputar di bioskop secara nasional membuat pemberitaannya kian luas dan terus dibahas. Publik pun akhirnya tahu bahwa kasus tersebut belum tuntas. Masyarakat beramai-ramai mengangkat ke publik hingga kepolisian kembali membuka kasusnya untuk dituntaskan. Fenomena ini memberikan tekanan terhadap lembaga atau instansi, yang mana saat ada satu kasus tidak viral maka itu keadilannya tidak didapat.
Terlepas pro kontra dari film ini, ada juga satu fenomena menarik yang disebut sebagai no viral no justice belakangan ini. Fenomena tersebut terjadi ketika perkara hukum tak kunjung terungkap sehingga memviralkannya melalui media sosial adalah jalan alternatif. Kasus Vina Cirebon yang diangkat menjadi film layar lebar menjadi sorotan tajam dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah spekulasi mengemuka terhadap film tersebut dan menggugah kekhawatiran tentang integritas penegakan hukum.
Pengadilan selalu berbicara mengenai bukti dalam hal ini kasus pidana berbicara tentang kebenaran materiel. Putusan hukum harus memuat tiga asas yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Ketika keadilan dan kepastian hukum saling berbenturan, keadilan harus diutamakan. Keadilan ini berlaku bagi korban maupun pelaku. Karena HAM tidak hanya soal tersangka dan terdakwa tetapi juga korban.
Putusan hukum itu harus memuat tiga asas yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Memutus dengan tiga asas tersebut membutuhkan pencarian kebenaran. Kebenaran tersebut mencakup filosofis, sosiologis, dan yuridis. Perspektif hukum harus ada pembenar yuridis, seorang penegak hukum tidak boleh menutup mata meski ada pihak yang bermain, penegak hukum harus waspada dan harus mampu mempertimbangkan keadaan yang meringankan dan memberatkan.
Fenomena ketidakadilan hukum di Indonesia atau dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas” maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah. Hal ini ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak seseorang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Fenomena ini tidak menjamin dan tidak memberikan perlindungan hukum atas tersebarnya sebuah informasi bahkan aib seseorang dari sumber yang tidak jelas. Fenomena ini mengisyaratkan keprihatinan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Faktanya, tidak semua kasus terselesaikan dan tidak semua pelaku kejahatan dapat ditangkap. Tidak semua penderitaan korban juga dapat diakomodasi. Hal ini bisa terjadi karena teknis kasus yang sulit untuk dibuktikan atau memang ada intervensi dari pihak tertentu.
Bagi masyarakat dan penegak hukum hukum seyogyanya kedepan bisa menyaring dan menganalisis secara hukum saat menerima informasi tertentu. Apalagi dalam kasus Vina Cirebon ditemukan banyak kejanggalan. Misalnya soal Daftar Pencarian Orang (DPO) dan menjadikan salah satu DPO sebagai tersangka, serta penghapusan DPO yang prosedurnya perlu dipertanyakan.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar, atau dalam istilah hukum “timpang sebelah”.
Dalam hukum mempunyai prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusian ini didalam hukum humaniter adalah Asas Equality Before The Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet).
Penerapan Asas Equality Before The Law dalam lapisan dimensi masyarakat disebabkan oleh adanya politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum islam dan hukum adat. Disamping itu pula, adanya oknum-oknum yang berwenang yang dapat mengenyampingkan hukum.
Oknum-oknum tersebut seharusnya menegakkan hukum, namun kewenangan yang ada padanya disalah pergunakan. Sebuah Fakta Lembaga peradilan kini sudah impoten, tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam kitab.
Hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu membayar pengacara. Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari “Kasih Uang Habis Perkara”. Ada berbagai faktor yang menghambatnya bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik.
Bukan rahasia umum kondisi hukum ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya, Hukum bisa sangat tajam.
Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Seharusnya, ketika ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis.
Perbuatannya apa, bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, bagaimana keputusannya. Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik. Inilah yang menjadi problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam kasus ini sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyarakat yang tentunya dipertanyakan bahwa di mana keadilan bagi “masyarakat kalangan bawah”.
Masyarakat sering tidak percaya dengan proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam melihat proses penegakan hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.
Adanya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Banyak fakta adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja.
Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan.
Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber “hukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat.
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum.
‘No man above the law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
Di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945 juga secara tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Maka dari itu, perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya.
Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
Demikian ulasan mengenai Kepastian dan Keadilan Hukum Kasus Vina Cirebon di Mata Hakim yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.
Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.
Demikian sobat uraian artikel kali ini tentang Kepastian dan Keadilan Hukum Kasus Vina Cirebon di Mata Hakim. Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel Kantor Advokat Konsultan Hukum SURJO & PARTNERS oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya). Semoga bermanfaat.
Apabila sobat perlu bantuan dan konsultasi hukum silahakan menghubungi Tim Advokat SURJO & PARTNERS. Melalui menu Janji Temu yang ada di website atau melalui Contact Person Advokat H. Surjono, S.H, M.H,. di nomor +6281333373322.
Sumber Artikel :
Kepastian dan Keadilan Hukum dalam Kasus Vina di Mata Hakim https://www.hukumonline.com/berita/a/kepastian-dan-keadilan-hukum-dalam-kasus-vina-di-mata-hakim-lt6663dfe80ecbe/?page=all
Realitas Hukum Dalam Asas Equality Before The Law https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/realitas-hukum-dalam-asas-equality-before-the-law#:~:text=Dalam%20Pasal%2027%20ayat%20(1,itu%20dengan%20tidak%20ada%20kecualinya%E2%80%9D.