SURJO & PARTNERS – Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, Sobat Law Firm Surjo & Partners asas ini dikenal sebagai Asas Legalitas dan diatur didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali bedasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan tidak ada ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut.
Maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Namun, sebaliknya jika sebelum suatu perbuatan dilakukan telah diatur ketentuan peraturan perundang-undanganya maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Sobat Law Firm Surjo & Partners, ulasan dari asas Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali merupakan sebuah adagium hukum yang berasal dari bahasa Belanda dan memiliki arti, yaitu “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu”.
Kalangan akademisi dan praktisi hukum tentu akan sangat familiar dengan adagium tersebut karena memang merupakan pengetahuan elementer yang wajib diketahui dalam pelajaran ilmu hukum.
Dalam hukum pidana, untuk menjatuhkan sanksi atau pidana kepada seseorang harus dilandaskan pada hukum. Hukum yang dipakai adalah hukum yang berlaku, artinya hukum itu sudah ditetapkan oleh pihak yang berwenang sehingga memiliki daya ikat dan sanksi.
Suatu perbuatan hukum dikatakan melanggar atau dikatakan perbuatan pidana jika sudah ada aturan yang mengaturnya secara tertulis. Artinya untuk perbuatan yang tidak ada dalam undang-undang tidak dapat dipidana.
Perbuatan pidana tersebut akan diproses di peradilan, baik dilaporkan oleh pelapor maupun perbuatan pidana yang tidak perlu dilaporkan pada pihak yang berwajib.
Pihak berwajib nantinya akan melakukan penyelidikan dengan melakukan olah TKP, setelah bukti permulaan didapat maka akan dilanjutkan kepada proses penyidikan.
Sebelum penyidikan Polisi akan melakukan penangkapan kepada tersangka dengan surat penangkapan. Surat penangkapan tersebut harus dibawa oleh Polisi, jika tidak dibawa dan diperlihatkan kepada tersangka maka tersangka bisa mengelak dan polisi tidak dapat melakukan penangkapan.
Jika surat penangkapan ada sesuai dengan identitas tersangka dan tersangka sudah ditangkap maka baru dilakukan penyidikan. Beberapa ahli hukum seringkali menisbatkan Adagium tersebut dengan ungkapan Ansem von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen rechts” pada tahun 1801 M.
Dalam buku tersebut, Von Feuerbach menyadari secara betul bahwa penjatuhan hukuman yang hanya didasarkan pada selera dan kehendak penguasa adalah pintu masuk kesewenang-wenangan.
Oleh karenanya, Penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri atau penyidik pegawai negeri sipil, penyidikan dilakukan dengan mencari informasi dari tersangka mengenai perbuatan pidana yang dilakukan sampai pada detail-detail kasusnya, setelah penyidikan selesai akan dibuatkan berita acara penyidikan untuk dikirim ke kejaksaan untuk dilakukan peradilan di persidangan.
Proses tersebut akan bisa dijalankan didasarkan pada pasal pidana yang dilanggarnya. Pasal yang dilanggar harus ada sebagai syaratnya. Artinya dalam system hukum pidana suatu perbuatan pidana dianggap melakukan pidana jika ada aturan konkretnya.
Sebuah perbuatan pidana dapat menjadi hapus jika terjadi proses dekriminalisasi, yaitu aturan terkait dengan suatu perbuatan dihapuskan oleh pejabat yang berwenang sehingga perbuatan tersebut tidak lagi dipidana jika dilakukan.
Selain itu ada juga suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan perbuatan pidana akhirnya menjadi dan dianggap perbuatan pidana, hal ini disebut dengan kriminalisasi.
Hal ini bisa terjadi jika ada aturan baru yang mengatur suatu perbuatan, dalam aturan tersebut dimuat bahwa perbuatan yang sebelumnya bukan pidana menjadi pidana yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, jadinya perbuatan tersebut jika dilakukan oleh setiap orang maka akan dikenakan sanksi pidana.
Oleh karena itu, penting untuk mencantumkan suatu perbuatan pidana dalam peraturan tertulis terlebih dahulu agar masyarakat bisa mengetahui batas-batas perbuatan yang dilarang.
Seseorang tidak boleh dipidanakan atas perbuatannya kecuali dengan adanya peraturan tertulis yang mengatur tentang pelarangan terhadap perbuatan tersebut.
Undang-Undang itu harus memberikan suatu ancaman hukuman berupa suatu penderitaan kepada setiap orang yang melakukan suatu pelanggaran hukum. Dalam hal ini, Von Feuebach mengemukakan tiga ketentuan yakni:
- Nulla Poena Sine Lege, yang artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana;
- Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang;
- Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undang terhadap pelanggarannya;
Para pembentuk undang-undang begitu menyadari akan prinsipilnya pengakuan terhadap asas legalitas ini. Oleh karena itu, asas tersebut diletakkan pada Pasal 1 ayat 1 KUHP, yang berbunyi; “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. (Baca : Asas Legalitas Hukum Pidana)
Pengertiannya bahwa harus ada aturan undang-undang, jadi aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, itu jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, di mana dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan.
Peletakan pada pasal pertama memiliki arti bahwa asas legalitas tersebut menjiwai keseluruhan ketentuan-ketentuan pidana, baik yang tertuang dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan yang lain, yang berlaku di Indonesia. Asas Legalitas tersebut mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu :
- Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika perbuatan yang dimaksud belum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dalam suatu aturan undang-undang. Dengan kata lain, untuk dapat mempidanakan seseorang ketentuan tentang perbuatan pidana tersebut terlebih dulu tertuang dalam aturan perundang-undangan tertulis.
- Tidak diperbolehkannya penggunaan penafsiran analogi (kiyas) dalam hukum pidana. Perbuatan pidana haruslah nyata. Ada perbedaan pandangan dari para ahli hukum pidana mengenai pengertian analogi dan penafsiran, sebagian dari mereka mengatakan antara analogi dan penafsiran adalah sama, sementara sebagian para ahli hukum yang lain menyatakan bahwa suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi boleh diadakan penafsiran secara ekstensif terhadap suatu perbuatan, apakah ia tergolong perbuatan pidana atau tidak.
- Tidak diperbolehkannya ketentuan yang berlaku secara retroaktif atau berlaku surut ke belakang. Bahwa suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana dikarenakan adanya aturan – aturan yang mengatur tentang hal tersebut.
Pengaturan suatu perbuatan sebagai delik pidana dalam undang-undang dimaksudkan agar tercapai kepastian hukum bagi masyarakat. Seseorang tidak bisa sekonyong-konyongnya atas kehendak dan selera penguasa semata.
Oleh karena itu, masyarakat terlebih dahulu harus diberikan acuan oleh undang-undang untuk dapat membedakan antara mana perbuatan yang diperbolehkan dan mana perbuatan dilarang.
Dalam tataran tertentu, hal demikian memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasa.
Namun demikian, bukan berarti bahwa penerapan asas legalitas tidak memiliki kelemahan. Karena dalam prakteknya, hukum tertulis akan selalu ketinggalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dalam perkembangannya dikenalkan pula dua konsep dalam penjatuhan hukum pidana, yaitu konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
Dengan demikian, maka nyatalah bahwa dalam hukum bahwa asas legalitas bukanlah merupakan satu-satunya adagium yang harus dijunjung tinggi dalam penegakan hukum.
Oleh karenanya tidak tepat jika seorang hakim hanya bertindak sebagai corong undang-undang (bouche de la loi), sebab ada yang lebih utama daripada kepastian hukum, yaitu keadilan yang menjadi inti daripada hukum itu sendiri.
Demikian ulasan mengenai Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.
Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.
Demikian sobat uraian artikel kali ini tentang Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel Kantor Advokat/Konsultan Hukum SURJO & PARTNERS oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya). Semoga bermanfaat.
Apabila sobat perlu bantuan dan konsultasi hukum silahkan menghubungi Tim Advokat SURJO & PARTNERS. Melalui menu Janji Temu yang ada di website atau melalui Contact Person Advokat H. Surjono, S.H, M.H,. di nomor +6281333373322.
Sumber Artikel:
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta – Rineka Cipta, Hlm. 23;
Rahmat Setiabudi Sokonagoro (Adv), S,H., LL.M., (Hons.) Arb.
“Adagium Hukum”, pa-bengkulukota.go.id, Diakses pada tanggal 27 Agustus 2024, http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/Adagium%20Hukum.pdf
Adagium Hukum Terlengkap, https://smartlawyer.id/adagium-hukum-terlengkap/ Diakses pada tanggal 27 Agustus 2024
“Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum” triwidodowutomo.blogspot.com, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html Diakses pada tanggal 27 Agustus 2024
Asas Nullum Delictum, Noela Poena Sine Lege Praevia https://lawfirmadvokatsurjoandpartners.wordpress.com/2022/07/10/asas-nullum-delictum-noela-poena-sine-lege-praevia/ Diakses pada tanggal 27 Agustus 2024