SURJO & PARTNERS – Komisi III DPR RI mulai merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Adapun aturan yang ditambah terkait advokat yang bisa mendampingi saksi saat pemeriksaan.
Dalam RKUHAP, tugas advokat tidak hanya akan mencatat dan mendengarkan saat pemeriksaan. Namun, nantinya, advokat dapat menyampaikan keberatan jika ada intimidasi saat pemeriksaan. Di KUHAP baru advokat bisa menyampaikan keberatan, kalau terjadi intimidasi terhadap orang yang diperiksa.
Lebih lanjut, dalam RKUHAP juga akan mengatur restorative justice. Restorative justice akan dikedepankan selama proses hukum. Jadi mulai penyidikan, penuntutan sampai persidangan bisa di-restorative justice-kan.
Pada intinya restorative justice itu bagaimana penyelesaian perkara dengan orientasi pemulihan kerugian korban. Bukan semata-mata menghukum si pelaku dengan melibatkan korban dan pelaku.
“Advokat juga bisa mendampingi saksi dan korban. Kalau di KUHAP yang lama advokat itu hanya mendampingi tersangka,” kata Habiburokhman di gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2025). Dikutip dari detik.com
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terbaru akan memperkuat peran advokat.
Habiburokhman mengatakan peran advokat ini diperluas dari UU KUHAP yang saat ini masih berlaku. Dalam beleid rancangan tersebut, Komisi III membuat satu bab khusus mengenai peran advokat.
Sebagai contoh di kasus penangkapan dan pemeriksaan mahasiswa yang terlibat bentrok saat demonstrasi, mahasiswa yang diperiksa tersebut tak bisa didampingi oleh kuasa hukum lantaran masih berstatus saksi.
Diketahui, dalam draf Komisi III, advokat dipecah dalam satu bab yakni pada Bab VII Advokat dan Bantuan Hukum, tepatnya diatur pada Pasal 140 dan hak dari Advokat diatur pada Pasal 141.
Bab tersebut mengatur peran advokat untuk melakukan pembelaan dan mendampingi orang yang menjalani proses peradilan pidana baik dalam pemeriksaan maupun diluar pemeriksaan sesuai dengan etika profesi.
Sistem peradilan Indonesia mendudukan advokat sebagai pengemban profesi luhur (officum nobile) yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum.
Namun dalam praktik, Advokat masih memiliki sejumlah hambatan, misalnya dalam hal mengakses bukti maupun berkas-berkas perkara yang menjadi kebutuhan mendasar untuk kepentingan pembelaan maupun upaya hukum.
Ketidakseimbangan dalam proses peradilan sebenarnya sudah terjadi sejak tahap penyidikan.
Pasal 33 RUU KUHAP mengatur bahwa pada pemeriksaan Tersangka di tahap penyidikan, Advokat hanya dapat melihat dan mendengar saja, serta menyatakan keberatan jika pertanyaan penyidik bersifat mengintimidasi dan menjerat.
Peran Advokat yang lemah tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengumpulan konstruksi fakta yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Padahal, BAP pada praktiknya selalu digunakan sebagai dasar pemeriksaan, tak terkecuali pada pemeriksaan di persidangan, bahkan hingga tingkat upaya hukum.
Oleh karena itu, peran Advokat seharusnya bisa diperkuat salah satunya dengan memberikan kewenangan kepada Advokat untuk memberikan catatan/pandangan advokat terkait proses pemeriksaan kliennya, yang nantinya akan disatukan atau termuat dalam BAP dan berkas perkara.
Di sisi lain, terdapat beberapa ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip keberimbangan dalam pembuktian di persidangan, antara lain Pasal 197 ayat (10) RUU KUHAP, yang menyatakan “Setelah pemeriksaan Terdakwa, Penuntut Umum dapat memanggil Saksi atau Ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari Advokat selama persidangan”.
Sedangkan terdakwa dan penasihat hukumnya tidak diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan penyanggahan lebih lanjut. Sistem adversarial memang memungkinkan para pihak dapat saling menyanggah, namun secara prinsip harus tetap berimbang.
Kebebasan advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya juga dibatasi dalam RUU KUHAP ini. Dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP, advokat bahkan dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya.
Rumusan pasal ini jelas bertentangan dengan berbagai ketentuan yang menjamin status advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana telah diatur dalam UU Advokat.
Ketentuan ini juga menjadi ancaman bagi peran advokat dalam melaksanakan peran non litigasi termasuk peran pemberi bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum di luar pengadilan.
Terlebih, hal ini juga merupakan bentuk pembatasan terhadap hak berpendapat dan berekspresi. Selain itu, mengenai penguatan peran advokat dalam RUU KUHAP dinilai masih belum memadai karena tidak sejalan dengan jaminan yang layak terkait hak atas bantuan hukum. Hal tersebut justru mengakomodasi pola pelanggaran hak atas bantuan hukum yang terjadi selama ini.
Dalam Pasal 146 ayat (4) dan (5) RUU KUHAP, tersangka/terdakwa tidak didampingi oleh seorang advokat apabila menyatakan menolak didampingi, dibuktikan dengan berita acara yang dibuat pejabat yang berwenang sesuai tahapan pemeriksaan.
Rumusan pasal yang demikian justru melegitimasi modus pelanggaran hak tersangka/terdakwa yang selama ini sering terjadi, yaitu seperti tersangka/terdakwa diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Berita Acara Kesediaan Diperiksa tanpa Didampingi Pengacara.
Dalam praktiknya, tersangka/terdakwa menandatanganinya dengan berbagai alasan, seperti: 1) dipaksa dan/atau disiksa untuk menandatangani; 2) dijanjikan kasusnya akan cepat selesai atau akan dilepaskan, dan 3) dimanipulasi bahwa penggunaan penasihat hukum akan mengeluarkan biaya yang besar.
Modus tersebut semakin parah dampaknya karena dalam RUU KUHAP tidak memuat konsekuensi hukum apabila hak atas bantuan hukum tidak dipenuhi.
Ketentuan Pasal 146 ayat (4) RUU KUHAP juga membuka ruang ketiadaan pendampingan Penasihat Hukum terhadap Tersangka/Terdakwa yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih, serta yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih tetapi tidak mampu dan tidak mempunyai Advokat sendiri – jika Tersangka/Terdakwa menolak.
Mahkamah Agung melalui Rumusan Kamar Nomor PIDANA UMUM/B.8/SEMA 7 2012, memang menyatakan bahwa terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum karena menolak didampingi sejak penyidikan hingga pengadilan, hal tersebut tidak membatalkan putusan pengadilan.
Namun, ketentuan SEMA tersebut yakni terbatas hanya bagi dakwaan yang ancaman pidananya 5 tahun ke atas, bukan termasuk Tersangka atau Terdakwa yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih.
Sehingga, telah jelas bahwa pasal-pasal tersebut bermasalah dan berpotensi besar menimbulkan pelanggaran dalam proses peradilan, terutama pada perkara-perkara dengan ancaman hukuman yang tinggi hingga hukuman mati.
Demikian ulasan mengenai RUU KUHAP Bukan Hanya Tersangka, Advokat Bisa Dampingi Saksi dan Korban dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.
Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.
Demikian Sobat uraian artikel kali ini tentang RUU KUHAP Bukan Hanya Tersangka, Advokat Bisa Dampingi Saksi dan Korban Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel Kantor Advokat/Konsultan Hukum SURJO & PARTNERS oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya). Semoga bermanfaat.
Apabila sobat perlu bantuan dan konsultasi hukum silahkan menghubungi Tim Advokat SURJO & PARTNERS. Melalui menu Janji Temu yang ada di website atau melalui Contact Person Advokat H. Surjono, S.H, M.H,. di nomor +6281333373322.
Sumber Artikel :
RUU KUHAP Bakal Perkuat Peran Advokat, Bisa Dampingi Saksi dan Korban https://news.detik.com/berita/d-7833297/ruu-kuhap-bakal-perkuat-peran-advokat-bisa-dampingi-saksi-dan-korban. diakses tanggal 22 Maret 2025 pukul 13.55 WIB.