Address
Jl. Citandui No.52 B Purwantoro, Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur 65122 Indonesia

Sertifikat HGB-SHM Laut Bisa Diterbitkan? Simak Aturannya


SURJO PARTNERS – Kasus HGB-SHM laut menjadi perhatian khusus seiring ditemukannya pagar laut yang membentang seluas 30,16 kilometer persegi di wilayah pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang, Banten.

Peruntukan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) laut menjadi kontroversi tersendiri. Bolehkah sertifikat serupa bisa diterbitkan untuk laut? Simak aturannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Selain Banten, masyarakat juga dihebohkan dengan berita HGB laut Surabaya, HGB laut Tangerang, dan HGB laut Sidoarjo. Menurut berita yang beredar, fakta tentang HGB laut ini ditemukan dari aplikasi Bhumi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Adapun sebagian sertifikat HGB terbit kisaran tahun 2022-2023.

Untuk kasus HGB-SHM laut yang membentang seluas 30,16 kilometer persegi di wilayah pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang, Banten, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, memastikan tahapan penyelidikan dalam kasus pagar laut dilakukan secara profesional dan transparan.

“Yang pasti ini masih dalam proses terus penyidikan, mudah-mudahan sesegera mungkin ini bisa selesai,” tuturnya, seperti dikutip Antaranews, Rabu, 22 Januari 2025.

Di lain sisi, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, membenarkan temuan bahwa sudah ada Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Dilansir dari Tirto.id

“Penelusuran awal bahwa di lokasi tersebut telah terbit sebanyak 263 bidang, yang terdiri dari 234 bidang Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, 9 bidang atas nama perorangan. Selain itu, ditemukan juga 17 bidang Sertipikat Hak Milik di kawasan tersebut,” papar Nusron, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (22/1/2025).

Sebelum mengulas lebih lanjut, Sobat Surjo Partners sebaiknya pahami dulu apa yang dimaksud Hak Guna Bangunan (“HGB”).

Pada dasarnya, HGB merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang diatur dalam UU PAPasal 16 ayat (1) UU PA menguraikan bahwa hak-hak atas tanah, antara lain:

  1. hak milik;
  2. Hak Guna Usaha (“HGU”);
  3. HGB;
  4. hak pakai;
  5. hak sewa;
  6. hak membuka tanah;
  7. hak memungut hasil hutan;
  8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UU PA.

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya  (hal. 287), HGB adalah hak atas tanah yang memberi kewenangan untuk membangun sesuatu di atasnya.

Adapun secara yuridis, dalam UU PA yang dimaksud dengan HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. [1]

Berkaitan dengan subjeknya, HGB diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. [2]

Sedangkan, untuk tanah yang dapat diberikan dengan HGB meliputi: [3]

  1. tanah negara;
  2. tanah hak pengelolaan; dan
  3. tanah hak milik.

Lantas, jangka waktu HGB berapa tahun? Terkait jangka waktu HGB sebagaimana disebutkan definisinya di atas, dapat diberikan paling lama 30 tahun.

Untuk HGB di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan dapat diperpanjang untuk jangka waktu maksimal 20 tahun dan dapat diperbarui untuk jangka waktu maksimal 30 tahun. [4] Sedangkan, untuk HGB di atas tanah hak milik dapat diperbarui dengan akta pemberian HGB di atas hak milik. [5]

Lalu muncul pertanyaan, setelah masa HGB habis, tanah milik siapa? Setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan tanah berakhir, tanah hak guna bangunan kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak pengelolaan. [6]

Terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB)

Masih berkaitan dengan HGB, penting untuk mengetahui terjadinya hak guna bangunanPasal 38 ayat (1) s.d. (3) PP 18/2021 menerangkan bahwa terjadinya HGB dibedakan berdasarkan tanah yang diberikan HGB, yaitu:

  1. HGB di atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional [7] (“Menteri ATR/BPN” atau “Menteri”).
  2. HGB di atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri berdasarkan persetujuan pemegang hak pengelola.
  3. HGB di atas tanah hak milik terjadi melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).

Baik keputusan pemberian hak oleh Menteri dan akta yang dibuat oleh PPAT dapat dibuat secara elektronik. [8]

Kemudian, pemberian HGB sebagaimana disebutkan di atas wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. [9] Pendaftaran ke kantor pertanahan ini menandakan bahwa pemberian HGB telah terjadi. [10] Lalu, pada HGB khususnya di atas tanah hak milik akan mengikat pihak ketiga sejak didaftar oleh kantor pertanahan. [11]

Pada akhirnya, pemegang HGB diberikan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak. [12]

Lalu, dapatkah HGB diterbitkan di atas laut atau perairan?

Apakah Sertifikat HGB-SHM Laut Bisa Diterbitkan?

Merujuk pada penjelasan di atas, HGB diberikan kepada tanah baik itu tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik.

Adapun yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi. [13]

Sedangkan, definisi dari laut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 PP 32/2019, yang menyatakan bahwa laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa, tanah merupakan daratan maupun yang tertutup air, dalam arti lain daratan yang tertutup air masih tergolong sebagai tanah. Akan tetapi, tanah bukan merupakan ruang perairan seperti laut yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya. Dengan demikian, karena laut bukan merupakan objek yang dapat dibebani HGB menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka HGB tidak dapat diterbitkan di atas laut maupun perairan.

Selain itu, dilansir dari  nstagram hukumonlinenewsroom, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti, Wahyu Trenggono, di dasar laut tidak boleh ada kepemilikan atau sertifikat. Oleh karena itu, HGB laut jelas ilegal.

Selain itu, Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) memiliki sejumlah perbedaan, termasuk prosedur penerbitan.

HGB adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah milik negara atau tanah yang dikuasai oleh negara. Gunanya untuk membangun dan mengelola bangunan di atasnya dalam jangka waktu tertentu.

Sedangkan SHM adalah bukti kepemilikan sah atas suatu tanah. SHM memberikan hak penuh kepada pemilik untuk menguasai, menggunakan, mengalihkan, atau bahkan menjual tanah tersebut.

Baik HGB maupun SHM diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia dengan melalui prosedur sebagai berikut:

1. HGB (Hak Guna Bangunan)

  • Untuk mendapatkan HGB, pemohon mengajukan proposal atau Rencana Pengusahaan Tanah, proposal penggunaan tanah jangka panjang dan jangka pendek, dan persyaratan lain.
  • Setelah itu, BPN melakukan verifikasi dan menerbitkan sertifikat HGB untuk jangka waktu tertentu. Biasanya 20-30 tahun. Angka ini dapat diperpanjang sesuai ketentuan.

2. SHM (Sertifikat Hak Milik)

  • Tanah harus terlebih dahulu didaftarkan ke BPN. Hal ini berlaku untuk tanah baru atau tanah yang telah dimiliki sebelumnya.
  • Prosesnya mencakup verifikasi, pengukuran, dan pemeriksaan status tanah.
  • Setelah itu, BPN mengeluarkan sertifikat yang menyatakan bahwa seseorang memiliki hak milik atas tanah tersebut.

Menurut Pasal 36 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan terdiri dari tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik.

Pasal 38 juga menjelaskan terkait pemberian Hak Guna Bangunan (HGB). Berikut rinciannya:

  • Hak guna bangunan di atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri.
  • Hak guna bangunan di atas Tanah Hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri berdasarkan persetujuan pemegang Hak Pengelolaan.
  • Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik terjadi melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dihuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pemberian hak guna bangunan kemudian didaftarkan melalui Kantor Pertanahan.

Sementara Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah turut menjelaskan detail rincian tanah negara.

Sesuai Pasal 4, tanah negara salah satunya bisa berasal dari tanah reklamasi. Berikut rincian lengkap terkait tanah negara:

  • Tanah yang ditetapkan Undang-Undang atau Penetapan Pemerintah.
  • Tanah reklamasi.
  • Tanah timbul.
  • Tanah yang berasal dari pelepasan atau penyerahan hak.
  • Tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan
  • Tanah relantar.
  • Tanah hak yang jangka waktunya berakhir serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau pembaruan.
  • Tanah hak yang jangka waktunya berakhir dan karena kebijakan pemerintah pusat tidak dapat diperpanjang dan/atau diperbarui.
  • Tanah yang sejak semula berstatus tanah negara.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL), Kusdiantoro, sempat menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang laut tanpa memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) termasuk bentuk pelanggaran.

“Paradigma hukum pemanfaatan ruang laut telah berubah menjadi rezim perizinan, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Tujuannya adalah memastikan ruang laut tetap menjadi milik bersama yang adil dan terbuka untuk semua,” beber Kusdiantoro, seperti dikutip laman Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini menyikapi kasus pagar laut di Tangerang, Banten, yang memicu kontroversi. Dikutip dari Tirto.id

Menurut Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto Darwin, ruang laut juga tidak bisa dimiliki. Hal ini, katanya, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.

Adapun UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menerangkan Izin Lokasi.

Pasal 1 Ayat 18 berbunyi “Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil”.

Izin Lokasi bisa diberikan kepada orang perseorangan warga negara Indonesia, korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, dan koperasi yang dibentuk oleh masyarakat.

Hapusnya Hak Guna Bangunan

Sebagai informasi, perlu juga diketahui mengenai hapusnya HGB yang diatur dalam Pasal 46 PP 18/2021, yaitu karena:

  1. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian, perpanjangan, atau pembaruan haknya;
  2. dibatalkan haknya oleh Menteri sebelum jangka waktunya berakhir karena:
  1. tidak terpenuhinya ketentuan kewajiban dan/atau larangan HGB;
  2. tidak terpenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian HGB antara pemegang HGB dan pemegang hak milik atau perjanjian pemanfaatan tanah hak pengelolaan;
  3. cacat administrasi; atau
  4. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  1. diubah haknya menjadi hak atas tanah lain;
  2. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
  3. dilepaskan untuk kepentingan umum;
  4. dicabut berdasarkan undang-undang;
  5. ditetapkan sebagai tanah terlantar;
  6. ditetapkan sebagai tanah musnah;
  7. berakhirnya perjanjian pemberian hak atau perjanjian pemanfaatan tanah untuk HGB di atas hak milik atau hak pengelolaan; dan/atau
  8. pemegang hak sudah tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak.

Merujuk pada ketentuan di atas, HGB laut dapat dihapus melalui pembatalan oleh Menteri sebelum jangka waktunya berakhir, karena pada dasarnya HGB laut cacat administrasi. Adapun yang dimaksud dengan cacat administrasi adalah cacat substansi, cacat yuridis, cacat prosedur, dan/atau cacat kewenangan. [14]

Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Menteri ATR/BPNNusron Wahid, dalam Press Conference Pembongkaran Pagar Laut yang dilansir dari laman YouTube Kompas TV, yakni sertifikat HGB laut Tangerang adalah cacat prosedur dan cacat materiil. Sehingga, Kementerian ATR/BPN memiliki kewenangan untuk mencabut sertifikat HGB tersebut.

Terkait jangka waktu pembatalan HGB karena cacat administrasi menurut Pasal 64 ayat (1) PP 18/2021, yaitu:

  1. sebelum jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat HGB, untuk:
  1. hak atas tanah yang diterbitkan pertama kali dan belum dialihkan; atau
  2. hak atas tanah yang telah dialihkan namun para pihak tidak beriktikad baik atas peralihan hak tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  1. karena adanya tumpang tindih hak atas tanah.

Jika melebihi jangka waktu 5 tahun sebagaimana disebutkan di atas, maka pembatalan dilakukan melalui mekanisme peradilan. [15]

Kesimpulannya, berdasarkan PP 18/2021, pencabutan sertifikat hak atas tanah (dalam kasus ini HGB) dapat dilakukan oleh Menteri ATR/BPN tanpa perintah pengadilan jika terjadi cacat administrasi dan belum mencapai usia 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat. A sebagian besar sertifikat ini terbit pada tahun 2022–2023, maka syarat untuk pembatalan terpenuhi.

Demikian ulasan mengenai prosedur Sertifikat HGB-SHM Laut Bisa Diterbitkan? Simak Aturannya. dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.

Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.

Demikian Sobat uraian artikel kali ini tentang Sertifikat HGB-SHM Laut Bisa Diterbitkan? Simak Aturannya. Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel Kantor Advokat/Konsultan Hukum SURJO & PARTNERS oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya). Semoga bermanfaat.

Apabila sobat perlu bantuan dan konsultasi hukum silahkan menghubungi Tim Advokat SURJO & PARTNERS. Melalui menu Janji Temu yang ada di website atau melalui Contact Person Advokat H. Surjono, S.H, M.H,. di nomor +6281333373322.


Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Referensi:

  1. Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cetakan ke dua belas (edisi revisi). Jakarta: Djambatan, 2008;
  2. Hukumonlinenewsroom, yang diakses pada 24 Januari 2025, pukul 22.05 WIB;
  3. Kompas TV, yang diakses pada 24 Januari 2025, pukul 22.15 WIB.

[1] Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UU PA”)

[2] Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP 18/2021”)

[3] Pasal 36 PP 18/2021

[4] Pasal 37 ayat (1) PP 18/2021

[5] Pasal 37 ayat (2) PP 18/2021

[6] Pasal 37 ayat (3) PP 18/2021

[7] Pasal 1 angka angka 17 PP 18/2021

[8] Pasal 38 ayat (4) PP 18/2021

[9] Pasal 39 ayat (1) PP 18/2021

[10] Pasal 39 ayat (2) PP 18/2021

[11] Pasal 39 ayat (3) PP 18/2021

[12] Pasal 39 ayat (4) PP 18/2021

[13] Pasal 1 angka 1 PP 18/2021

[14] Penjelasan Pasal 46 huruf b angka 3 PP 18/2021

[15] Pasal 64 ayat (2) PP 18/2021