SURJO & PARTNERS – Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan. Tanpa independensi kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan tidak mungkin dapat tercapai. Secara konseptual maupun praktik, hubungan antara demokrasi dan negara hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah sangat erat.
Dikutip dari laman MKRI, lal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam Kajian Bedah Buku Independensi Lembaga Kekuasaan Kehakiman dalam Penegakan Hukum dan Keadilan karya Anwar Usman. Kegiatan webinar ini terselenggara atas kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Riau pada Jumat (2/7/2021) pagi.
Anwar menjelaskan, tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, tidak akan ada demokrasi dan bernegara yang berdasarkan atas hukum. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, merupakan syarat bagi negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.
Tetapi, hubungan ini tidak hanya bersifat satu arah. “Demokrasi dan negara yang berdasarkan atas hukum merupakan prasyarat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dengan perkataan lain, ada hubungan timbal balik antara kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demokrasi dan negara hukum. Hal itu dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sebuah koin mata uang,” urai Anwar.
Dikatakan Anwar, tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai institusi yang independen, mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, menjalankan fungsi cheks and balances bagi institusi negara lainnya, mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat, dan melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling konkret.
Memandirikan Hakim
Anwar menyampaikan, independensi kekuasaan kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan yang mandiri bertujuan untuk memandirikan hakim dan lembaga kehakiman. Secara organisatoris, lembaga kekuasaan kehakiman harus dimandirikan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya.
Dalam kerangka itu, hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik tertentu. Secara politik, kekuasaan kehakiman harus dipisahkan secara tegas dari cabang kekuasaan negara yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif, agar tercipta adanya hubungan yang saling menyeimbangkan (checks and balance) dalam sistem politik.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Bab III mengatur tentang Hubungan Pengadilan dan Pemerintah pada Pasal 19 secara eksplisit menyebutkan, Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Ketentuan ini tentu tidak dapat diterjemahkan lain, selain diartikan bahwa Presiden dapat melakukan intervensi terhadap pengadilan dengan dalih kehormatan negara, bangsa, atau kepentingan masyarakat yang mendesak.
Ketentuan tersebut, kata Anwar, diartikan bahwa Presiden dapat melakukan intervensi terhadap pengadilan dengan dalih kehormatan negara, bangsa, atau kepentingan masyarakat yang mendesak. Di sisi lain, bentuk-bentuk intervensi dan kooptasi terhadap dunia kekuasaan kehakiman juga terjadi dalam bentuk administratif.
Meskipun semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan, namun di bawah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 19 Tahun 1964, organisasi, administrasi, dan finansial, berada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Depertemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata.
Upaya memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi lembaga negara lainnya, mulai tampak sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya, telah menghilangkan peran eksplisit Presiden untuk melakukan intervensi terhadap kewenangan teknis yustisial lembaga peradilan.
Meski tak dapat dipungkiri, dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 ini, peran eksekutif terhadap organisasi, administrasi, dan finansial lembaga peradilan masih merupakan kooptasi yang bersifat administrasi bagi dunia kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Seiring bergulirnya reformasi pada 1998, harapan akan hadirnya dunia kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari segala bentuk intervensi menemui momentumnya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dalam konsiderannya menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ini telah menetapkan batas waktu proses peralihan organisasi, administrasi, dan finansial yang semula pembinaannya berada di lingkungan masing-masing departemen, menjadi di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
Dijelaskan Anwar, bergulirnya reformasi dan kuatnya komitmen masyarakat menjadikan hukum sebagai panglima guna mengawal kehidupan demokrasi dan bernegara, telah melahirkan sebuah lembaga kekuasaan kehakiman baru di samping Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihinan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Ihwal Independensi Hakim adalah erat kaitannya dengan membicarakan pengadilan, karena pengadilan adalah benteng terakhir keadilan. Kalimat ini memiliki makna yang sangat dalam, sebab disatu sisi dapat berarti bahwa pengadilanlah harapan terakhir masyarakat untuk mmperoleh keadilan, kebenaran dan tegaknya hukum.
Disisi lain juga bermakna bahwa pada dasarnya tidak semua persoalan atau sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan, karena dapat juga diselesaikan melalui lembaga Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Bagi suatu negara hukum, pengadilan merupakan satu sendi atau lembaga yang keberadaannya mutlak. Sukar dibayangkan bagi kita, jika lembaga ini tidak ada, apakah jadinya negara ini mungkin yang terjadi adalah negara hukum rimba, sebab hilangnya eksistensi pengadilan akan berarti gugurnya status negara hukum itu sendiri.
Oleh karena itu kalaupun masih ada sorotan masyarakat yang demikian tajam dan terkesan juga agak sinis terhadap dunia peradilan kita dewasa ini, harus dipandang secara positif dan harus diterima dengan hati yang lapang, bahwa kepedulian masyarakat terhadap lembaga ini sangat respon dan meningkat.
Masyarakat kini tidak lagi hanya pasrah terhadap realita yang sering kali dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, adanya masyarakat mulai menggugat eksistensi dan fungsi lembaga pengadilan adalah dengan satu harapan pengadilan dapat dijadikan tumpuan tegaknya hukum dan keadilan.
Paradigma Urgensi Independensi Hakim dan Pengawasan masyarakat adalah suatu keharusan yang tidak bisa diabaikan demi terealisasinya tegaknya hukum dan keadilan yang senantiasa didambakan oleh masyarakat para pencari keadilan.
Urgensi dimaksudkan keharusan yang mendesak, sedangkan Independensi Hakim sebagai substansi utama negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, mandiri atau independen. lagi pula seorang hakim harus berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Dengan begitu, dapat dipastikan tanpa terjaminnya independensi kekuasaan kehakiman maka sudah tentu akan runtuhlah fondasi suatu negara hukum. Ihwal Independensi Hakim erat kaitannya dengan membicarakan pengadilan, karena pengadilan adalah benteng terakhir keadilan.
Kalimat ini memiliki makna yang sangat dalam, sebab disatu sisi dapat berarti bahwa pengadilanlah harapan terakhir masyarakat untuk memperoleh keadilan, kebenaran dan tegaknya hukum.
Disisi lain juga bermakna bahwa pada dasarnya tidak semua persoalan atau sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan, karena dapat juga diselesaikan melalui lembaga Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Bagi suatu negara hukum, pengadilan merupakan satu lembaga yang mutlak keberadaannya., dan dengan adanya pengawasan masyarakat adalah merupakan modal yang sangat penting demi tegaknya hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Sukar dibayangkan, jika lembaga perailan ini tidak ada , apakah jadinya negara ini mungkin yang terjadi adalah negara hukum rimba, sebab hilangnya eksistensi pengadilan akan berarti gugurnya status negara hukum itu sendiri.
Oleh karena itu kalaupun masih ada sorotan masyarakat sebagai bentuk pengawasan masyarakat yang demikian tajam dan terkesan juga agak sinis terhadap dunia peradilan dewasa ini, seharusnya dipandang secara positif dan harus diterima sebagai modal pemacu introspeksi, secara realita bahwa kepedulian masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat respon dan meningkat.
Masyarakat kini tidak lagi hanya pasrah terhadap realita yang sering kali dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, adanya masyarakat mulai menggugat eksistensi dan fungsi lembaga peradilan adalah dengan satu harapan pengadilan dapat dijadikan tumpuan tegaknya hukum dan keadilan.
Pembahasan
Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan hakim adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu ataupun tidak terpengaruh oleh siapapun.
Dalam konteks lain, independensi juga merupakan hak pribadi sebagai manusia, yang memiliki hak bebas dan merdeka tanpa ditekan oleh pihak lain.
Tentunya dimasudkan independensi hakim dalam pelaksanaan tugas yudisial nya adalah mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam menjatuhkan putusannya sesuai dengan keyakinan nuraninya.
Namun disisi lain independensi disini bukan mutlak tanpa batas, akan tetapi ada batasan-batasannya, karena suatu lembaga ataupun organisasi tidak dapat eksis tanpa adanya dukungan dari pihak lain.
Independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa :
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan.
Sampai saat ini terkadang masih juga ada satu pertanyaan yang belum dapat dijawab secara memuaskan adalah sampai sejauh mana independensi itu dimiliki oleh para hakim di pengadilan?
Karena terkadang masih juga ada oknum hakim tertentu yang masih terpengaruh terhadap iming-iming pihak tertentu yang berakibat timbulnya opini negatif terhadap independensi hakim.
Independensi atau kebebasan disini harus lebih dikonotasikan sebagai kebebasan dan kemandirian untuk menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki, atau secara harfiah kebebasan berfikir dan bertindak yang menjadi landasan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan hukum, dan hati nuraninya tanpa merasa takut terhadap pihak luar.
Dalam kapasitas inilah seorang hakim memiliki kedudukan teramat mulia dan tanggung jawab yang tinggi. Kualitas seorang hakim akan diukur tidak hanya oleh ketrampilan dan kemampuan menerapkan pasal-pasal hukum dan memutus perkara secara cepat, tetapi lebih jauh juga diukur dari keberaniannya memegang teguh asas independensi yang melekat di pundaknya.
Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Kedilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung jawabkan secara horisontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kapasitas inilah seorang hakim memiliki kedudukan teramat mulia.
Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan mematuhi garis-garis dan batas-batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya, karena itu pada prinsipnya independensi hakim tidaklah mutlak, akan tetapi secara normatif independensi hakim dibatasi oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 13B ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 jis Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 13B ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, serta mentaati nilai-nilai dasar perilaku Religiusitas, yakni adanya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan selalu memiliki konskuensi untuk diberikan penghargaan atau hukiuman oleh Tuhan sehingga ketekunan dan ketaatan menjalankan ajaran agama dapat menjamin setiap yang di8lakukan menjadi lebih baik.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sekarang ini, merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam Konggres IV luar Biasa IKAHI Tahun l966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung.
Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain The Bangalore Principles of Yudicial Conduct.
Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.
Begitu pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan Konsultasi
Publik yang diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi Pasal 32A junto pasal 81B Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun ekternal.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap profesional.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai pegangan bagi para hakim telah dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 Tanggal 8 April 2009. 02/SKB/P.KY/IV/2009.
Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini nerupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.
Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Dapat dijelaskan bahwa penegakan hukum berkait erat dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya sudah ada, yaitu kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan. Kehadiran lembaga penegak hukum tambahan harus dipandang sebagai lembaga ad hoc sebagai penguatan lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi deapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweck massigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).
Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen saling bertaut yang merupakan “conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan, sedangkan keadilan adalah internal autentik dan esensi roh hukum, sehingga supremasi hukum [supremasi of law] adalah supremasi keadilan [supremasi of justice], begitu pula sebaliknya karena keduanya ada hal yang komunikatif.
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan dan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
Penegakan hukum sudah semestinya berintikan keadilan yang didambakan masyarakat. Hal demikian berbanding lurus dengan induk teori kontrak sosial ala Thomas Hobbes, Locke, dan JJ. Rousseau dan/atau Roscoe Pound yang secara garis besar menyebutkan bahwa hukum adalah instrumen pengubah masyarakat, yang harus berjalan sebagai pengayom dan pelindung warga negara, karena sejatinya hukum diciptakan untuk memenuhi rasa keadilan manusia.
Dalam kondisi seperti itu, di mana sebenarnya letak strategis putusan hakim untuk menjadi penegak hukum yang mandiri sebagai amanat undang-undang tanpa diintimidasi kekuasaan apapun? Sementara disisi lain harus mampu memenuhi dahaga masyarakat terhadap keadilan.
Oleh karena itu seorang hakim tidaklah hanya berfungsi sebagai “terompet undang-undang”, yang menganggap pasal-pasal hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, namun lebih jauh hakim juga harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti diamanatkan oleh Undang-Undang. Hakim harus mampu mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk kemudian dikristalisasikan dalam bentuk putusan-putusannya berupa yurisprudensi.
Putusan hakim adalah “Mahkota Hakim” demikian adagium yang terkadang muncul di tengah-tengah masyarakat; karena dari putusan hakim itu orang lain dapat menilai kedalaman pengetahuan hukum hakim yang memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya.
Pengetahuan hukum yang harus dikuasai hakim sesungguhnya harus multidisiplin yang melintasi hukum acara, hukum materiil, ilmu hukum, filsafat hukum, sosisologi hukum, kriminologi, psikologi hukum, ilmu komunikasi, hukum adat, metodologi hukum dan lain-lain.
Putusan hakim dapat dikategorikan suatu putusan hakim yang memadai apabila dalam pertimbangan hukum yang dituangkannya paling tidak memuat beberapa formula pasal-pasal hukum, yakni formula pasal-pasal hukum formil (hukum acara), formula pasal-pasal hukum materiil (pasal-pasal hukum terapan), dan dasar-dasar hukum dari yurisprudensi ataupun dasar-dasar hukum yang digali dari hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar Nash).
Dalam hal penegakan hukum dan keadilan ini, bila seorang hakim menangani suatu perkara, ada baiknya menyimak sebagian maksud Risalah Khalifah Umar bin Khatthab dijelaskan bahwa “…….maka fahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dihadapkan kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan perhatian secara tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu, sehingga orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan“.
Oleh karena itu dalam hal penegakan hukum, haruslah mempunyai roh keadilan yang didambakan masyarakat, sebagai inti dari pada hukum itu sendiri; lagi pula dalam penegakan hukum ini harus ada kompromi antara ketiga unsur, yaitu : kepastian, kemanfaatan dan keadilan, sehingga ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.
Realita Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini tidak bisa dielakkan, bahkan pengadilan harus memiliki prinsip transparansi. Dalam bidang tugas peradilan dewasa ini dikenal 2 (dua) pengawasan, yaitu pengawasan Internal dan Pangawasan Eksternal.
Pengawasan Intrernal adalah Pangawasan dari dalam lingkungan Mahkamah Agung RI sendiri yang mencakup 2 (dua) jenis yaitu : Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional.
Pengawasan Melekat adalah : Serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas peradilan tersebut berjalan secara efektif dan efisien, sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengawasan Fungsional adalah : Pengawasan yang dilakukan oleh aparat Pengawasan yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri yang diperuntukkan untuk itu.
Adapun yang termasuk dalam katagori Pengawasan Eksternal adalah Pengawasan diluar lingkungan Mahkamah Agung RI, antara lain : Komisi Yudisial, Ombudsmen, L S M – Dll.
Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini adalah termasuk dalam katagori pengawasan eksternal. Pengadilan memiliki prinsip transparan, dapat juga dimaksudkan bahwa proses persidangan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali proses persidangan perkara-perkara tertentu yang musti dilakukakan secara tertutup sebagaimana diatur dalan Peraturan perundangan yang berlaku.
Transparansi pengadilan sesungguhnya tidak hanya berarti bahwa masyarakat hanya boleh menyaksikan jalannya persidangan, akan tetapi sebenarnya pengawasan masyarakat itu merupakan proses bagi suatu negara hukum sama artinya dengan proses penerapan dan penemuan hukum.
Pengawasan masyarakat (social control) terhadap dunia peradilan adalah wujud kepedulian publik terhadap lembaga peradilan sebagai garda terakhir para pencari keadilan, bahkan bila ada kritik konstruktif dari masyarakat musti insan yang berkecimpung dalam dunia peradilan, tentunya harus menyikapi dengan lapang dada, guna bekal instrospeksi dan mawas diri demi perbaikan lembaga peradilan itu sendiri dan juga guna kwalitas produk-produk putusan Pengadilan yang senantiasa menjadi dambaan dan tumpuan masyakarat para pencari keadilan.
Simpulan
Independensi Hakim adalah harus dipertahankan bagi setiap hakim dan harus berpegang pada Kode Etik serta Pedoman Perilaku Hakim dalam melaksanakan tugas yusticialnya, tidak mudah terpengaruh adanya iming-iming dari pihak lain.
Dalam penegakan hukum dan keadilan, hakim bukan hanya sekedar terompet undang-undang, akan tetapi hakim harus berani melakukan“ijtihad hukum” terhadap penanganan perkara yang dihadapinya.
Pengawasan kelembagaan dari Mahkamah Agung RI secara internal yang berupa pengawasan melekat dan pengawasan fungsional adalah berfungsi sebagai upaya preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas peradilan berjalan secara efektif, efisien, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Realita adanya pengawasan masyarakat sebagai pengawasan eksternal (sosial control) terhadap dunia peradilan, musti harus diterima bagi setiap praktisi yusticial sebagai pemacu introspeksi diri dan sebagai kritik konstruktif dalam wujud kepedulian publik, agar produk-produk putusan pengadilan dapat menyentuh rasa keadilan.
Urgensi Independensi Hakim, Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim, peraturan perudangan yang berlaku, serta realitas pengawasan masyarakat sejatinya adalah sebagai pilar pokok penegakan hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat para pencari keadilan.
Demikian ulasan mengenai Urgensi Independensi Hakim dan Pengawasan Masyarakat dalam Perspektif Penegakan Hukum dan Keadilan dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.
Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.
Demikian sobat uraian artikel kali ini tentang Urgensi Independensi Hakim dan Pengawasan Masyarakat dalam Perspektif Penegakan Hukum dan Keadilan. Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel Kantor Advokat/Konsultan Hukum “SURJO & PARTNERS”oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya). Semoga bermanfaat.
Apabila sobat perlu bantuan dan konsultasi hukum silahkan menghubungi Tim Advokat Kantor Advokat/Konsultan Hukum “SURJO & PARTNERS” melalui menu Janji Temu yang ada di website atau melalui Contact Person Advokat H. Surjono, S.H, M.H,. di nomor whatsapp +6281333373322.
Sumber Artikel :
Ketua MK Paparkan Independensi Kekuasaan Kehakiman kepada Mahasiswa FH Universitas Riau https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17392 diakses tanggal 29 Juli 2022.
Independensi Hakim, Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim, Penegakan Hukum Dan Keadilan, Serta Pengawasan Masyarakat https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/independensi-hakim-kode-etik-dan-pedoman-perilaku-hakim-penegakan-hukum-dan-keadilan-serta-pengawasan-masyarakat-oleh-drs-h-trubus-wahyudi-sh-mh-264 diakses tanggal 29 Juli 2022
Urgensi Independensi Hakim Dan Pengawasan Masyarakat Dalam Perspektif Penegakan Hukum Dan Keadilan https://www.pta-semarang.go.id/artikel-pengadilan/200-urgensi-independensi-hakim-dan-pengawasan-masyarakat-dalam-perspektif-penegakan-hukum-dan-keadilan diakses tanggal 29 Juli 2022
Meluruskan Makna Independensi Hakim https : farid-wajdi.com/detail post/meluruskan-makna-independensi-hakim, diakses tanggal 29 Juli 2022